tex



بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ ۙ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ

Selasa, 20 November 2012


Silakan donlot font lemurian untuk microsoft office agan sekalian,,nuhun,,klik link dibawah y,,

huruf lemurian

Rabu, 07 November 2012

Anak Katak Hijau Yang Nakal


Dahulu kala di sebuah kolam yan luas tinggalah seekor anak katak hijau dan ibunya. Anak katak tersebut sangat nakal dan tidak pernah mengindahkan kata-kata ibunya. Jika ibunya menyuruhnya ke gunung, dia akan pergi ke laut. Jika ibunya menyuruhnya pergi ke timur, dia akan pergi ke barat. Pokoknya apapun yang diperintahkan ibunya, dia akan melakukan yang sebaliknya.

“Apa yang harus kulalukan pada anak ini” pikir ibu katak. “Kenapa dia tidak seperti anak-anak katak lain yang selalu menuruti kata orang tua mereka.”

Suatu hari si ibu berkata, “Nak, jangan pergi keluar rumah karena di luar sedang hujan deras. Nanti kau hanyut terbawa arus.”

Belum selelsai ibunya berbicara, anak katak tersebut sudah melompat keluar sambil tertawa gembira,”hore…banjir aku akan bermain sepuasnya!”

Setiap hari ibu katak menasehati anaknya namun kelakuan anak katak itu bahkan semakin nakal saja. Hal itu membuat ibu katak murung dan sedih sehingga dia pun jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah.

Suatu hari ketika dia merasa tubuhnya semakin lemah, ibu katak memanggil anaknya,”Anakku, kurasa hidupku tidak akan lama lagi. Jika aku mati, jangan kuburkan aku di atas gunung, kuburkanlah aku di tepi sungai.”

Ibu katak sebenarnya ingin dikubur di atas gunung, namun karena anaknya selalu melakukan yang sebaliknya, maka dia pun berpesan yang sebaliknya.

Akhirnya ibu katak pun meninggal. Anak katak itu menangis dan menangis menyesali kelakuannya, “Ibuku yang malang. Kenapa aku tidak pernah mau mendengarkan kata-katanya. Sekarang dia telah tiada, aku sudah membuat ibu sakit dan meninggal.”

Anak katak tersebut lalu teringat pesan terakhir ibunya. “Aku selalu melakukan apapun yang dilarang ibuku. Sekarang untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukan apa yang dipesan oleh ibu dengan sebaik-baiknya.”

Maka anak katak itu menguburkan ibunya di tepi sungai.

Beberapa minggu kemudian hujan turun dengan lebatnya, sehingga air sungai dimana anak katak itu menguburkan ibunya meluap. Si anak katak begitu khawatir kuburan ibunya akan tersapu oleh air sungai. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sungai dan mengawasinya.

Di tengah hujan yang lebat dia menangis dan menangis. “Kwong-kwong-kwong. Wahai sungai jangan bawa ibuku pergi!”

Dan anak katak hijau itu akan selalu pergi ke sungai dan menagis setiap hujan datang. Sejak itulah kenapa sampai saat ini kita selalu mendengar katak hijau menangis setiap hujan turun.

Pesan moral: Kita harus patuh terhadap orang tua. Durhaka kepada orang tua akan berbuah penyesalan di kemudian hari.

Semut dan Belalang


Pada suatu hari, ada koloni semut yang sedang bekerja mencari makanan. Saat mereka sedang giat mencari makan, ada seekor belalang yang terlihat kelelahan datang kepada semut. Belalang itu berkata: “Wahai semut yang baik hati, bisakah engkau menolongku?”. Apakah yang bisa aku bantu?” tanya semut. “Jika boleh, apakah aku diizinkan tinggal sedikit lama disini?” jawab belalang. Semut berkata “Bloleh- boleh saja teman, ayo kutunjukkan tempat tinggal untukmu”.

Belalang sudah beberapa bulan tinggal ditempat semut dengan hanya makan, tidur dan memerintah. Lalu suatu hari semut bertanya dengan sopan kepada belalang, “Teman! Apakah engkau sudah mememukan tempat tinggal untukmu?” lalu belalang berkata “Belum, mungkin beberapa hari lagi aku akan mencari” jawab belalang. Setelah beberapa hari kemudian, semut bertanya lagi “Wahai belalang, apakah engkau sudah menemukan rumah untuk dirimu?” lalu belalang menjawab “Belum, nanti aku akan mencarinya!”. Setelah beberapa minggu kemudian, semut berkata dengan agak marah, “Belalang! Kenapa setiap hari engkau hanya makan, minum, tidur dan memerintah saja! Saat itu kau bilang akan mencari tempat tinggal! Bukan kami tidak mau menerimamu tapi kami sudah lelah karena kelakuanmu! Jika kau sudah menemukan rumah, cepat pergi!”. Lalu belalang menjawab, “Baiklah!”.

Lalu belalang pergi dengan hati yang gusar. Ia terus berkeliling dan mencari rumah yang cocok untuknya. Karena ia sudah terlalu lama tidak makan dan minum akhirnya ia mati. Tetapi ada seekor semut yang menemukannya sebelum ia mati dan belalang berkata “Tolong bawa aku kepada ketuamu” lalu semut itu membawanya kepada tuan mereka ternyata tuan itu adalah semut yang ia kenal dan belalang berkta kepada semut tersebut “Maafkan aku atas perbuatan yang telah kulakukan padamu! Tapi bolehkan belum mati aku meminta bantuanmu?” setelah melihat keadaan belalang, semut berkata “Apa itu?” dan belalang bicara “Aku minta dikuburkan dengan baik”. Lalu semut memakamkannya sesuai dengan permintaan belalang, ia selau merewat dan membersihkan makan belalang yang telah berbuat jahat kepadanya.

Kelinci Yang Sombong


Di padang rumput nan hijau, hiduplah seekor kelinci yang sangat nakalm, setiap hari kerjaannya mengusili penghuni padang rumput. Pada suatu hari, si kelinci ketemu pak kijang. Dalam hati kelinci berpikir “saya kerjain saja Pak Kijang, tapi bagaimana ya?” Si kelinci berpikir keras dan tiba-tiba ide nakal sampai di kepalanya. “Saya pura-pura saja lari Pak Kijang sambil berteriak ‘pak singa ngamuk’”.

Maka sambil larilah, Si Kelinci sambil berteriak “Pak Singa ngamuk! Pak Singa ngamuk!”, akhirnya pak kijang sekeluarga lari tak beraturan, sampai anaknya Pak Kijang jatuh ke jurang.

Puaslah hati Si Kelinci, berbahak-bahak dia, “kena saya kerjain Pak Kijang”. Begitu bangganya Si Kelinci, “cerdas juga saya” Congkak si kelinci.

Si kelinci melanjutkan jalan-jalannya sambil mencari korban berikutnya. Dari kejauhan, Si Kelinci melihat Pak Kerbau. Dia pun melakukan hal yang sama seperti pada Pak Kijang. “Pak Singa ngamuk! Pak singa Ngamuk” teriak Si Kelinci, sambil berlari ke arah Pak Kerbau sekeluarga.

Terang saja Pak Kerbau langsung lari terbirit-birit sampai istri Pak Kerbau yang lagi hamil, keguguran. Duka Pak Kerbau jadi suka cita Si Kelinci.

Hari berikutnya Pak Kijang bertemu Pak Kerbau, mereka menceritakan kejadian yang mereka alami kemarin. Selagi mereka asik membahas masalah yang menimpa keluarga mereka yang disebabkan oleh Si Kelinci, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan Si Kelinci dari kejauhan, “Tolong, saya dikejar-kejar Pak Singa, Pak Singa ngamuk! Tolong, tolong, tolooong!,” tapi tidak ada yang perduli, “ah, paling-paling Si Kelinci lagi-lagi membohongin kita” pikir mereka.

Sekuat tenaga Si Kelinci menghindari kejaran Pak Singa, tapi apalah daya, Pak Singa lebih cepat larinya, akhirnya Si Kelinci mati dikoyak-koyak Pak Singa dan tidak ada yang perduli.

[Slamet Budiono. dongeng.org]

Kiki dan Kiku




Ada dua ekor burung kecil yang tinggal di dahan pohon. Mereka bernama Kiki dan Kiku. Kedua burung itu bersahabat, tetapi tabiat mereka berbeda. Kiki selalu bangun pagi sebelum matahari terbit. Ia berolahraga di dahan-dahan pohon, meloncat dari dahan ke dahan, terbang mengelilingi pohon-pohon dan menyanyi. Kiki paling senang, bila ia dapat melihat matahari terbit.

“Selamat pagi, matahari yang baik,” sapa Kiki ramah. “Selamat pagi juga, Kiki! Ho ho ho, pagi ini lagi-lagi kau bangun lebih pagi dariku,” sahut Matahari.

Matahari dan Kiki hampir setiap hari mengobrol. Kalau Kiki rajin bangun pagi, Kiku sebaliknya. Ia tak pernah bangun kalau matahari belum berada di atas pucuk pohon. Karena tidur terlalu lama dan jarang berolahraga, Kiku sering sakit. Kiki jengkel dengan kemalasan Kiku. Karena ia tak bisa membereskan tempat tidurnya pada pagi hari.

Kiki mencari akal agar Kiku tidak malas bangun pagi lagi. “Kiku, pernahkah engkau makan cacing?” tanya Kiki pada suatu hari. “Belum, bagaimana rasanya?” Kiku merasa tertarik. “Belum pernah makan cacing? Kalau begitu jangan sebut dirimu burung. Setiap burung sejati pasti pernah makan cacing setiap pagi,” kata Kiki sambil menepuk dada. “Kalau begitu aku akan mencari cacing,” kata Kiku penasaran. “Kau akan cari cacing di mana?” ejek Kiki. “Aku? Aku tidak tahu,” sahut Kiki malu. “Aku mau memberi tahu. Asal kau mau bangun pagi-pagi besok.” “Baiklah!”

Esok harinya, seperti biasa Kiku bangun sebelum matahari terbit. Ia bersusah payah membangunkan Kiku. Karena Kiku masih mengantuk, Kiku sering menutup matanya.

“Lihat Kiku! Bu Ayam sedang mengais-ngais tanah. Cacingnya banyak sekali! Tidakkah engkau ingin memakannya?” tanya Kiki. Seketika itu Kiku yang berjalan sambil terkantuk-kantuk, membuka matanya. “Petok. petook! Ayo, Kiki, ajak temanmu sarapan bersama,” ajak Bu Ayam. Mereka pun sarapan pagi dengan gembira. “Kiki, aku sudah makan cacing. Jadi aku adalah burung sejati,” kata Kiku. “Tapi burung sejati pun selalu bangun sebelum matahari terbit,” kata kiki. “Aku akan membiasakan bangun pagi mulai sekarang. Karena ternyata bangun pagi itu menyenangkan. Aku merasa badanku sangat sehat,” kata Kiku. “Mulai sekarang kita bisa berolahraga pagi,” kata Kiki. “Tentu!” “Kalau begitu mari kita terbang. Satu, dua, tiga!” seru Kiki. Kedua burung itu melesat ke udara. Mereka terbang dengan riang di antara dahan-dahan pohon.

Singa dan Tikus


Seekor singa sedang tertidur dengan lelapnya di dalam sebuah hutan belantara. Kepalanya yang besar, bersandar pada telapak kakinya. Seekor tikus kecil secara tidak sengaja, berjalan di dekatnya.

Dan setelah tikus itu sadar, bahwa dia berjalan di depan seekor singa yang sedang tertidur, sang Tikus menjadi ketakutan sekali dan berlari dengan secepat mungkin. Tetapi, karena ketakutan, sang Tikus malah berlari di atas hidung sang Singa yang sedang tertidur itu.

Sang Singa menjadi terbangun dan dengan sangat marahnya, lalu menangkap makhluk kecil itu dengan cakarnya yang sangat besar.

“Ampuni saya!” kata sang Tikus. “Tolong lepaskan saya dan suatu saat nanti saya akan membalas kebaikanmu.”

Singa menjadi tertawa dan merasa lucu saat berpikir, bahwa seekor tikus kecil akan dapat membantunya. Tetapi meski demikian, dengan baik hati, akhirnya singa tersebut melepaskan si tikus kecil itu.

Suatu hari, ketika sang Singa mengintai mangsanya di dalam hutan, sang Singa tertangkap oleh jala yang ditebarkan oleh pemburu. Karena tidak dapat membebaskan dirinya sendiri, sang Singa mengaum dengan marah ke seluruh hutan.

Saat itu sang Tikus yang pernah dilepaskannya, mendengarkan auman itu. Dan dengan cepat, menuju ke arah dimana sang Singa terjerat pada jala. Sang Tikus kemudian menemukan sang Singa yang meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari jala yang menjeratnya.

Lalu, tanpa diminta, Sang Tikus kemudian berlari ke tali besar yang menahan jala tersebut. Dia langsung menggigit tali tersebut sampai putus, hingga akhirnya sang Singa dapat dibebaskan.

“Engkau tertawa ketika aku berkata akan membalas perbuatan baikmu kelak,” kata sang Tikus. “Sekarang engkau lihat, bahwa walaupun aku kecil, seekor tikus pun dapat juga menolong seekor singa.”

Jangan pernah memandang remeh budi baik, sekecil apapun. Kebaikan hati akan selalu mendapat balasan yang baik pada suatu saat.

[http://mythdunia.blogspot.com]

Pengorbanan Seekor Katak




Dahulu kala di negeri Korea hiduplah seorang petani yang miskin. Ia tinggal di sebuah dusun yang terletak di lereng sebuah gunung yang tinggi. Petani itu mempunyai seorang puteri yang bernama Bok-Sury. Istrinya telah lama meninggal. Bok-Sury adalah seorang gadis yang rajin dan pemberani. Ia sangat menyayangi ayahnya.

Suatu hari ketika Bok-Sury memasak di dapur, seekor katak melompat-lompat masuk. Katak itu duduk dekat kakinya. Tiba-tiba katak itu berkata, “Bok-Sury berikanlah aku nasi sedikit. Perutku lapat sekali”. Bok-Sury sangat terkejut mendengar katak itu dapat berbicara. Tapi karena ia seorang gadis yang pemberani, maka diberikannya nasi sedikit pada katak itu. Dengan lahapnya katak itu memakan nasi pemberiannya. Katak itu kembali berkata, “terima kasih Bok-Sury! Sekarang biarkanlah aku tinggal di pojok dapurmu. Aku tak mempunyai keluarga, dan lagi pula aku senang tinggal di dekatmu.”

Bok-Sury tidak mengusir katak itu. Ia pun merasa kesepian, katak itu dapat dijadikan teman bicaranya. Setiap hari bila Bok-Sury masak, disisakannya sedikit untuk katak itu. Tak seorang pun tahu tentang si katak. Ayahnya pun tak tahu. Karena tak bergerak-gerak maka tumbuhlah katak itu menjadi besar sekali. Bila orang melihat akan disangkanya katak itu seekor anjing.

Suatu ketika ayah Bok-Sury jatuh sakit. Badannya semakin kurus, mukanya pucat. Bok-Sury berusaha keras untuk menyembuhkan ayahnya, tapi ia tak berhasil. Ada seorang tabib yang tinggal jauh sekali dari dusun mereka. Karena Bok-Sury sangat menyayangi ayahnya, ia pergi juga menjemput tabib itu. Setelah memeriksanya, tabib itu berkata, “Bok-Sury, ayahmu sakit keras. Aku tak kuasa menyembuhkannya. Ada sebuah obat yang dapat menyembuhkan yaitu Ginseng. Tapi obat itu mahal sekali.”

Bok Sury merasa sedih sekali mendengar keterangan tabib. Ia tak punya uang dan tak dapat meninggalkan ayahnya untuk bekerja.

Sementara itu, di sebuah dusun di lereng gunung yang sama, rakyat sedang gelisah. Di sana terdapat istana tua yang dihuni oleh mahluk raksasa. Setiap tahun rakyat harus mengorbankan seorang manusia. Orang yang dijadikan mangsa itu diletakkan di atas sebuah altar di dalam istana.

Bila keesokan harinya rakyat melihat orang itu sudah tidak ada, maka itu tandanya mereka akan selamat dari amukan mahluk raksasa selama setahun. Sudah banyak yang menjadi korban. Sekarang rakyat sedang kebingungan. Mereka tidak mempunyai korban buat si mahluk raksasa. Akhirnya rakyat mengumpulkan uang. Uang yang banyak itu akan diberikan kepada siapa saja yang mau dijadikan korban.

Bok-Sury mendengar sayembara itu. Segera diputuskannya untuk menjadikan dirinya korban buat si mahluk raksasa. Ia pergi ke dusun itu dan mendapatkan uang. Dengan uang yang banyak, Bok-Sury pergi membeli ginseng.

Betapa sukacitanya, ia ketika dilihatnya ayah tercinta berangsur-angsur sembuh. Bahkan dalam waktu beberapa hari saja ayahnya dapat berdiri dan berjalan. Tapi kegembiraan Bok-Sury tak dapat berlangsung lama. Hari yang ditentukan tiba juga. Bok-Sury masak agak banyak untuk ayahnya. Kepada ayahnya ia berkata, “Ayah, aku akan bertandang ke rumah teman, mungkin agak lama. Ayah makanlah dahulu, sudah kusiapkan.”

Ayah Bok-Sury tak menaruh curiga, karena Bok-Sury sering pergi untuk menolong salah satu tetangganya. Bok-Sury teringat pada kataknya. Ia pergi ke dapur, ternyata sang katak sudah mengetahui rencana Bok-Sury. Katak itu menangis. Bok-Sury dengan lemah lembut membelai kepala katak itu sambil berkata, “Wahai sahabatku yang setia. Hari ini adalah hari terakhir kita bercakap-cakap. Jangan sedih, dan jagalah dirimu baik-baik.”

Bok-Sury sesampainya di dusun tempat mahluk raksasa itu berada, langsung dibawa ke istana tua. Ia diletakkan di atas altar persembahan. Suasana sunyi untuk beberapa saat. Bok-Sury memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tiba-tiba dilihatnya katak yang dipeliharanya duduk di pojok ruangan. Katak itu memandangnya dengan bola mata yang bersinar-sinar. Tiba-tiba katak itu membuka mulutnya. Dari mulutnya keluar segulung asap berwarna kuning. Asap itu naik ke atas. Tiba-tiba dari atap rumah keluar segulung asap berwarna biru. Asap kuning dari sang katak berusaha menekan asap biru tadi. Terjadi dorong-mendorong antara kedua asap itu. Tapi lihat.. asap kuning itu akhirnya berhasil menggulung asap biru itu. Bersamaan dengan itu bumi seakan bergetar.

Keesokan harinya orang-orang mendatangi istana. Mereka mendapatkan Bok-Sury pingsan di dekat bangkai seekor katak raksasa. Bok-Sury selamat dan dapat kembali ke ayahnya. Ia dianugrahkan uang dan benda-benda berharga lainnya oleh penduduk dusun yang berhasil dibebaskan dari mahluk raksasa.

Bok-Sury membawa pulang bangkai raksasa itu. Ia menguburnya dengan khidmat. Bok-Sury hidup bahagia bersama ayahnya.